Di Medan banyak “mie pangsit”. Walaupun namanya mie pangsit, disajikannya tanpa pangsit rebus atau goreng seperti yang biasa kita temukan di Jakarta. Harganya beragam, rata-rata Rp 7.000,- per mangkuk.
Dulu yang paling cocok dengan lidah saya adalah mie di Kedai Kopi Jelita di sebelah Novotel Jalan Pemuda. Rasanya sungguh pas, disajikan dengan cabe potong hijau/merah (di Medan tidak ada saus tomat atau sambal botol). Belakangan ketika ke sana lagi ternyata sudah tutup alias tidak lagi menjual mie.
Di gang-gang belakang Sun Plaza (Kampung Keling) juga banyak penjual mie. Saya tidak kenal betul namanya, hanya ciri-cirinya. Saya pernah merasa cocok dengan “Mie Ayu” di Jalan Kediri. Penjualnya gemuk dan berambut cepak (walaupun demikian tetap dipanggil “Bang”). Yang jadi kasir adalah ibunya (yang juga gemuk) dan melayani dengan tangan kiri (dulu selalu minta maaf karena menyerahkan uang dengan tangan kiri, sekarang tidak lagi). Si engkoh Ayu ini punya asisten cewek yang merebus mie. Dia tinggal mengulang pesanan sambil mengaduk-aduk mie yang sudah matang. Kadang ibunya juga mengingatkannya meja mana yang belum dilayani. Entah mengapa sejak terakhir ke Medan, rasaya agak berubah – terlalu asin dan anekaragam.
Justru yang sekarang rasanya pas bagi saya adalah Mie Amin. Penjualnya pakai handuk yang dililitkan di kepalanya sehingga dengan kumisnya lebih cocok jadi pendekar silat. Mie Amin ini sejenis dengan mie Ayu (keriting siantar).
Amin (kiri) dengan lilitan handuk di kepala
Di kedai Amin ini dindingnya dihiasi dengan gambar-gambar Yerusalem dan Tanah Suci serta diputarkan lagu-lagu rohani Kristen. Bahkan ada pengumuman “Minggu Tutup. Tuhan Yesus Memberkati”. Yang mengerjakan mie pangsit sebenarnya asistennya, sedangkan Amin lebih banyak menggoreng.
Di salah satu sudut juga ada mie pangsit yang agak mahal dengan penjualnya sering marah-marah. Pernah saya pesan mie pangsit, eh dibuatkan mie goreng. Ketika saya komplein malah si penjual balas memarahi saya. Seorang wanita di situ – mungkin istrinya – langsung mengambil mie itu dan memakannya. Di depan warungnya sering terdapat Mercedes. Selain karena karakter penjualnya yang kurang mengenakkan dan harganya juga mahal, saya tidak pernah lagi makan di situ.
Pengalaman kurang mengenakkan juga terjadi di kedai mie dekat situ pula. Adanya juga di sudut dengan pengaturan kursi di lorong (seperti waktu makan mie di Chiku Road, Singapura). Yang jual wanita setengah baya yang judesnya luar biasa serta tidak mau berbahasa Indonesia. Harganya juga mahal meskipun rasanya lumayan.
Ada satu lagi mie pangsit dekat Ayu, jualannya di rumah. Saya pernah makan di situ sambil nonton siaran langsung penyerbuan tempat persembunyian Noordin M.Top tahun lalu. Harganya murah tetapi rasanya kurang enak.
Di belakang Hotel Best Western Asean ada Mie Waringin 007. Yang jualnya dua orang gadis. Rasanya cukup enak dan harganya murah, serta sudah buka dari jam 7 pagi. Tak jauh di deretan itu ada juga mie pangsit halus tetapi rasanya tawar dan harganya mahal.
Jadi sekarang ini kalau ke Medan saya lebih suka makan mie pangsit Amin atau Mie Waringin 007 belakang hotel. Rasanya pas di lidah dan harganya murah. THE WINGLET
Selasa, 09 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar